PERNIKAHAN SECARA ISLAM YANG BENAR MUNAKAHAT (PERKAWINAN)
PERNIKAHAN SECARA ISLAM YANG BENAR
MUNAKAHAT (PERKAWINAN)
A. Pengertian Munakahat (Perkawinan)
Munakahat merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur pernikahan,
menetapkan syarat-syarat dan rukun nikah dan menyebutkan kewajiban yang
perlu ditaati oleh suami maupun istri untuk membentuk suatu keluarga
yang bahagia.
Secara etimologi (bahasa) nikah artinya berkumpul,
bergaul atau bercampur menjadi satu yang biasa disebut kawin. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, “nikah” berarti (1) perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); (2)
perkawinan.
Prof. Quraisy Syihab mengatakan bahwa : al-Quran
menggunakan kata ini (nikah) untuk makna tersebut, disamping secara
majazi diartikannya dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai
bentuknya ditemukan 23 kali.
Secara terminologi (istilah) nikah
adalah suatu akad (ikatan perjanjian) yang disertai dengan ijab qabul
dan menyebabkan halalnya pergaulan seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri serta timbulnya hak dan kewajiban bagi
keduanya.
Banyaknya ayat-ayat atau hadis, yang membicarakan tentang
pernikahan, menunjukkan bahwa pernikahan sangat penting dan sakral,
kudus dan suci. Dan keturunan yang lahir dari pernikahan itu, juga suci.
Dengan adanya pernikahan yang diatur oleh agama maka menjadi jelaslah
perbedaan antara manusia dengan hewan.
B. Hukum Nikah
Untuk mencapai keluarga sejahtera yang dikenal dengan, “keluarga
sakinah” bukanlah merupakan suatu perkara yang mudah, karena itu agama
memberi tuntunan dan menetapkan hukum nikah kedalam lima bagian yaitu :
1. Jaiz atau mubah, artinya boleh, maksudnya seseorang boleh menikah dan boleh tidak menikah, ini merupakan hukum asal nikah.
2. Sunah, yaitu bagi seorang laki-laki yang berkemampuan untuk menikah
dan telah sanggup memberi nafkah lahir batin serta dapat menjaga diri,
sekalipun tidak segera menikah.
3. Wajib, artinya bagi seorang
laki-laki yang mampu memberi nafkah lahir batin, berkeinginan untuk
nikah dan takut tergoda atau terjerumus kepada perbuatan maksiat (zina)
seandainya tidak segera menikah.
4. Makruh, yaitu bagi orang yang
berkeinginan tetapi belum mampu memberi nafkah (belanja) lahir batin
atau mengganggu pihak perempuan dalam melakukan kewajiban (menuntut
ilmu).
5. Haram, Bagi orang yang berminat menyakiti wanita yang dinikahinya dan untuk balas dendam kepada keluarga wanita.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu hukumnya
sunah yaitu berupa anjuran bagi yang mampu dan berkehendak. Kita
perhatikan hadis Nabi Muhammad Rasulullah saw:
اَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِى فَليْسَ مِنِّى
Artinya :
“Nikah itu termasuk sunahku, maka barang siapa yang tidak melaksanakan sunahku, bukan termasuk golonganku”. (H.R. Ibnu Majah).
C. Tujuan Nikah
Tujuan nikah yang sejati dalam Islam dengan singkat adalah menuju
kemaslahatan dalam rumah tangga, keturunan dan kemaslahatan masyarakat.
Untuk mencapai masyarakat yang sejahtera haruslah dimulai dari pembinaan
keluarga sejahtera. Jika setiap keluarga sejahtera, maka masyarakatpun
akan sejahtera pula.
Adapun yang disebut dengan keluarga sejahtera
adalah keluarga yang sehat, kuat rohaninya dan jasmaninya, berbudi
pekerti yang luhur serta bertaqwa kepada Allah swt. Kebahagiaan dari
kesejahteraan yang sejati hanya terwujud melalui pernikahan yang sah,
dengan demikian free sex sangat ditentang dalam agama Islam, begitu pula
perzinaan prostitusi dengan segala bentuknya.
Karena pernikahan
bukanlah sekedar untuk menyalurkan syahwat birahi, akan tetapi lebih
dari itu menciptakan ketenangan, keteraturan dan ketentraman dari situ
akan lahir anak-anak saleh yang mengabdi kepada Allah dan berbakti
terhadap kedua orang tuanya, bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Kasih sayang yang sejati akan membuahkan kesetiaan dan kebahagiaan dalam
keluarga. Firman Allah swt. dalam Q.S. ar-Rüm ayat 21 :
•• •
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.( Q.S. ar-Rüm ayat 21)
Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa diantara tanda-tanda kehebatan Allah yang diperlihatkan kepada manusia adalah :
1. Allah menciptakan istri (pasangan) dari sesama manusia
2. Dengan menemukan istrinya (pasangan) itu akan membawa ketenangan (sakinah)
3. Dorongan untuk bertemunya pasangan itu adalah dikaruniakannya
kedalam hati manusia cinta ( مَوَدَّةًً ) dan kasih ( رَحْمَة )
4. Menyadari hal itu pantaslah manusia beriman dan bersyukur kepadaNya.
Dengan demikian maka tujuan nikah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk menyalurkan dan memperoleh kasih sayang dari orang lain.
2. Untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah. Kata سَكِيْنَة dari
kata سَكَنَ yang berarti diam atau tenang. Dari kata tersebut keluarlah
kata سِكِّيْن yang berarti pisau yang berfungsi sebagai alat pendiam
atau penenang. Untuk hewan yang tadinya bergejolak dan meronta apabila
disembelih dengan pisau maka hewan yang bergejolak dan meronta akan
menjadi diam dan tenang selamanya. Dengan makna ini, nikah ibarat pisau
yang membuat pelakunya merasa tenang (bahagia) setelah pernikahan itu.
Demikianlah yang diuraikan oleh Prof.Quraisy Syihab dalam bukunya
Wawasan Al-Quran.
3. Mengikuti dan melaksanakan sunah Rasul.
Artinya nikah, dengan ketentuan agama Islam, merupakan tradisi
kemanusiaan yang diwarisi oleh para Rasul kepada generasi dan para
pengikutnya. Sabda Rasulullah saw:
اَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِى فَليْسَ مِنِّى (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
Artinya :
“Nikah itu termasuk sunahku, maka barang siapa yang tidak melaksanakan sunahku, bukan termasuk golonganku”. (H.R. Ibnu Majah).
4. Mendapatkan keturunan yang sah dan baik-baik. Disebut keturunan itu
sah apabila lahir dari suami istri yang menikah menurut ketentuan
syariat agama. Misalnya suami istri yang menikah bulan Januari maka
secara syariat agama akan lahir kira-kira bulan November atau Desember.
Kalau pasangan itu melaksanakan nikah bulan Januari, lalu melahirkan
anak bulan Maret pada tahun yang sama, tentu itu bukan anak yang sah
menurut syariat Islam.
5. Menghindarkan diri dari perbuatan zina.
Dengan pernikahan dorongan birahi dapat tersalurkan secara halal dan
sehat ( حَلاَلاً طَيِّبًا ). Dan perbuatan zina dalam syariat Islam
termasuk tindakan kotor dan buruk. Firman Allah dalam Q.S. al-Isra (17):
32
Artinya :
Dan janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji
dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. al-Isra : 32)
Firman Allah dalam Q.S. an-Nür (24) : 30
•
Artinya :
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat".( Q.S. an-Nür : 30)
6. Mempererat hubungan famili.
Dengan pernikahan, diharapkan persaudaraan antara dua keluarga menjadi
erat silaturrahim menjadi luas. Karena kuatnya persaudaraan dan
silaturrahim menurut Rasulullah menjadi salah satu tanda orang beriman
kepada Allah dan hari akhir. Sabda Rasulullah saw :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)
Artinya :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi.(H.R. Muslim)
D. Ketentuan Nikah
1. Syarat sah Nikah
Sebelum pernikahan dilaksanakan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi
oleh kedua belah pihak (calon suami dan calon istri ), yang disebut
syarat agar kedua pernikahan itu sesuai dengan tujuannya.
Adapun yang menjadi syarat nikah ialah :
a. Beragama Islam. Artinya, calon suami istri tersebut sebaiknya sesama muslim (Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221)
b. Bukan mahramnya (Q.S. an-Nisa (4) ayat 23)
c. Saling mengenal dan suka sama suka (Q.S. an-Nisa (4) ayat 3 dan Q.S. ar-Rüm (30) ayat 21)
d. Ada mahar yang dikeluarkan oleh calon suami (Q.S.an-Nisa (4) ayat 4 dan 25)
e. Tidak dalam ihram
f. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah bagi calon istri
2. Rukun Nikah
Pernikahan menjadi sah apabila dipenuhi syarat dan rukunnya. Adapun yang menjadi rukun nikah ada 4 macam, yaitu :
a. Adanya dua calon mempelai
b. Wali (wali mempelai wanita).
Sabda nabi saw.
لاَنِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيِّ (رَوَاهُ أَحْمَد عَنْ اَبِى بَرْدَة)
Artinya :
Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali (H.R.Ahmad dari Abi Bardah)
c. Ada dua orang saksi
d. Sighat (akad) yang terdiri dari Ijab dan Qabul. Ijab yaitu
perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali “ Saya nikahkan
engkau dengan anak saya bernama si Fulanah dengan mahar … tunai/kredit”,
sedangkan Qabul adalah ucapan/jawaban pihak mempelai laki-laki atas
ijab dari wali, seperti ucapannya : “Saya terima nikahnya si Fulanah
dengan mahar yang disebutkan, tunai/kredit”. Sabda Rasulullah saw
sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَة قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ الله ص.م : أَيُّمَا امْرَاَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
Artinya :
Barang siapa diantara wanita yang nikah dengan tidak diizinkan oleh
walinya, maka perkawinannya batal.(H.R. 4 orang ahli hadis kecuali
Nasai)
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ الله ص.م : لاَتُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَتُزَوِّجُ
الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
Artinya :
Janganlah wanita menikahkan wanita, jangan pula seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. (H.R. Daruqutni Ibnu Majah).
عَنْ عَائِشَة رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِى ص.م : قَالَ : لاَ
نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ (رَوَاهُ أَحْمَد وَبَيْهَقِى)
Artinya :
Tidaklah sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil. (H.R. Ahmad dan Baihaqi)
Adapun susunan wali yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai wanita adalah sebagai berikut :
- Bapak
- Kakek (Bapak dari bapak mempelai wanita)
- Saudara laki-laki seibu-sebapak
- Saudara laki-laki sebapak
- Anak laki-laki dari saudara seibu sebapak
- Anak laki-laki dari saudara sebapak
- Saudara bapak yang laki-laki
- Anak laki-laki dari saudara bapak yang laki-laki
- Hakim
Syarat wali dan dua orang saksi :
- Islam
- Balig
- Berakal
- Merdeka
- Laki-laki
- Adil
3. Mahram (wanita-wanita yang haram dinikahi)
Menurut Islam tidak semua wanita boleh dinikahi karena disebabkan 3 hal :
a. Mahram Nasab yaitu haram dinikahi karena adanya hubungan keturunan, yang termasuk mahram nasab ada 7 orang :
1. Ibu dan seterusnya ke atas
2. Anak, cucu dan seterusnya ke bawah
3. Saudara perempuan seibu sebapak
4. Saudara perempuan ayah
5. Saudara perempuan ibu
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki
7. Anak perempuan dari saudara perempuan (perhatikan Q.S. an-Nisa ayat 23)
b. Mahram Mushaharah yaitu haram dinikahi karena adanya hubungan perkawinan yaitu :
1. Ibu dari istri (mertua)
2. Ibu tiri
3. Anak tiri
4. Istri anak (menantu)
5. saudara perempuan istri atau ipar (Q.S. an-Nur ayat 23)
c. Mahram Radha’ah yaitu haram dinikahi karena adanya hubungan sesusuan, yaitu :
1. Ibu yang menyusukan
2. Saudara sesusuan (Q.S. an-Nisa (4) ayat 22-23 )
E. Kewajiban Suami Istri
Dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang timbul dari para
suami istri . Kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga terhadap
istrinya dan anak-anaknya, istri sebagai ibu rumah tangga adalah
merupakan hak istri terhadap suami dan anak-anaknya. Suami istri jika
menjalankan kewajibannya dengan baik dan menggunakan hak dengan wajar,
akan menghasilkan rumah tangga yang sakinah.
Adapun kewajiban suami dan istrinya adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban suami
a. Memberi nafkah.
Suami wajib memberi nafkah istri dan anak-anaknya seperti, minum,
makan, pakaian dan tempat tinggal. Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa:34.
Artinya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka.( Q.S. an-Nisa:34)
b. Memelihara, mendidik dan
memimpin istri dan anak-anaknya serta bertanggung jawab atas keselamatan
dan kesejahteraan keluarga. Suami harus bertanggung jawab terhadap
keluarganya, pendidikan anak-anak, menjaga hubungan yang harmonis dengan
istri dan anak-anaknya serta berusaha membimbing keluarga menjadi
manusia yang bertaqwa. Firman Allah swt dalam Q.S. at Tahrim :6
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. ( Q.S. at Tahrîm :6)
c. Berlaku sopan
Berlaku sopan berbuat baik dan memberi kesempatan kepada istrinya untuk bersilaturahmi dengan keluarganya. Sabda Nabi saw :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَِهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَِهْلِى (رَوَاهُ ابْن مَاجَه)
Artinya :
“ Laki-laki (suami) yang baik ialah orang yang terbaik diantara kamu
terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik diantara kamu
terhadap keluarganya”.(H.R. Ibnu Majah)
2. Kewajiban Istri
a. Taat kepada suami
b. Menjaga kehormatan diri dan keluarganya
c. Menghargai dan menghormati pemberian suaminya walaupun sedikit.
d. Tidak keluar rumah tanpa izin suami
e. Memelihara dan mendidik anak-anak dan suaminya
f. Mengatur dan menjaga rumah tangganya
g. Memelihara dan menjaga rahasia rumah tangganya.
Allah berfirman dalam Al-Quran Surat an-Nisa ayat 34
Artinya :
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). (Q.S. an Nisa: 34)
F. Talak
1. Pengertian Talak
Talak menurut bahasa bercerai. Sedangkan menurut istilah adalah
seorang suami melepaskan ikatan pernikahannya dengan seorang istri,
sekiranya dalam pergaulan suami istri tidak dapat mencapai tujuan
perkawinan yang sebenarnya. Bahkan jika pergaulan suami istri tidak
terdapat lagi kedamaian, tiada lagi saling mencintai, tidak lagi saling
tolong-menolong, perceraian adalah jalan satu-satunya yang harus
ditempuh.
Sabda Rasulullah saw :
عَنْ أَبِى عُمَرَ قَالَ :
قَالَ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ اَلطَّلاَقُ (رَوَاهُ اَبُوْ دَوُدوَابْنُ مَاجَه)
Artinya :
“ Dari Ibnu Umar katanya, telah berkata Rasulullah saw. perbuatan yang
halal yang amat dibenci Allah yaitu talak”. (H.R. Abu Daud dan Ibnu
Majah)
2. Hukum Talak
Ditinjau dari segi kemaslahatan atau kemudharatannya maka hukum talak ada empat, yaitu :
a. Makruh yaitu hukum asal dari pada talak.
b. Sunah apabila suami tidak sanggup lagi memberi nafkah lahir batin dengan cukup.
c. Wajib apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri sedangkan hakim memandang perlu supaya keduanya bercerai.
d. Haram dalam dua keadaan :
- Menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haid.
- Menjatuhkan talak sewaktu dalam keadaan suci dan telah dicampuri dalam keadaan suci tersebut.
3. Lafaz Talak
Lafaz yang digunakan untuk menjatuhkan talak ada dua macam :
a. Sharih yaitu lafaznya jelas berarti talak. Contoh : Saya ceraikan
kamu, Saya talak kamu, engkau saya ceraikan, dan sebagainya. Dengan
ucapan semacam itu maka jatuhlah talak, walaupun tidak ada niat
dihatinya untuk menceraikan istrinya, baik disengaja atau tidak
disengaja.
b. Kinayah yaitu dengan kata-kata sindiran. Contoh :
Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu, engkau sekarang bukan istriku lagi,
pergilah dari sini, dan sebagainya. Ucapan seperti ini bisa menjatuhkan
talak apabila ada niat dihati suami untuk menceraikannya.
4. Bilangan Talak
Seorang suami bisa menjatuhkan talak kepada istrinya maksimal 3 kali.
Pada talak satu dan dua, suami berhak rujuk (kembali) kepada istrinya
sebelum habis masa iddahnya atau nikah lagi apabila masa iddahnya sudah
habis. Sebab itu talak satu dan dua disebut juga Talak Raj’iyah.
Pada talak tiga, suami tidak boleh rujuk (kembali dan tidak boleh nikah
lagi dengan istrinya yang telah diceraikannya itu, kecuali ia telah
dinikahi oleh laki-laki lain (muhalil) dan sudah digauli serta telah
ditalak oleh suami keduanya itu dan telah habis masa iddahnya. Talak
tiga ini disebut juga Talak Bain Kubra. Allah menjelaskan dalam Al-Quran
surat al-Baqarah ayat 230
•
Artinya :
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri ) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Q.S.
al-Baqarah ayat 230)
Ada lagi jenis talak yang lain, yaitu
Talak Bain Shugra, ialah talak satu atau dua yang diminta oleh istri
yang disertai dengan uang tebusan (‘iwadh). Pada talak semacam ini suami
tidak boleh rujuk lagi, kecuali harus dengan akad nikah yang baru.
Talak semacam ini disebut juga Khulu’ (talak tebus).
Selain
kata-kata talak yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, namun ada
juga kalimat-kalimat yang digunakan oleh suami yang bersifat halus untuk
menyembunyikan maksud hatinya. Cara-cara ini merupakan cara adat arab
jahiliyah, setelah Islam datang cara tersebut dihapus dengan membatasi
masa berlalunya. Cara-cara tersebut sebagai berikut :
a. Zihar
artinya punggung yaitu suami berkata kepada istrinya, “Punggungmu
seperti punggung ibuku”. Dengan kata lain suaminya mempersamakan
istrinya dengan ibunya atau muhrimnya yang lain. Padahal ibunya adalah
wanita yang haram dinikahi. Suami yang sudah terlanjur menzihar istrinya
sebelum mencampuri wajib membayar kafarat. Adapun kafarat zihar adalah
memerdekakan budak, jika tidak mampu harus berpuasa dua bulan
berturut-turut, jika tidak kuat berpuasa wajib memberi makan 60 orang
fakir miskin. (Perhatikan Q.S. al-Mujadalah (58) : 2-4).
b. Lian
artinya sumpah suami yang menuduh istri berzina, maksudnya terjadi
perceraian karena suami menuduh istrinya berzina tanpa dapat
menghadirkan empat orang saksi. Jika suami tidak sanggup menghadirkan
empat orang saksi untuk memperkuat tuduhannya, maka suami wajib
bersumpah atas nama Allah sebanyak empat kali, yang mengatakan bahwa
istrinya benar-benar berzina. Dan sumpah yang kelima dengan mengatakan
bahwa sang suami siap menerima laknat Allah jika ia berdusta. Begitu
juga sebaliknya jika istri melakukan sumpah yang sama untuk menolak
tuduhan suaminya, dan istri siap menerima murka Allah jika tuduhan
suaminya benar, Akibat terjadinya li’an (sama dengan ba’in kubra), maka
suami istri tidak boleh merujuk dan tidak boleh menikah lagi untuk
selama-lamanya (perhatikan Q.S. an-Nur ayat 6-9).
c. Ilaa artinya
menolak mencampuri istri dengan sumpah. Maksudnya suami bersumpah untuk
tidak menggauli istrinya selama empat bulan. Dalam empat bulan itu suami
wajib kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah, dengan
berpuasa tiga hari berturut-turut atau memberi makan sepuluh orang fakir
miskin. Jika ia tidak kembali kepada istrinya dalam empat bulan maka
telah jatuh talak (Ba’in Sugra) yaitu tidak boleh rujuk. (perhatikan
Q.S. al-Baqarah ayat 226-227).
Selain daripada cara tersebut ada lagi cara membatalkan pernikahan yang menjadikan jatuh talak, yaitu :
a. Fasakh. Artinya membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara
suami istri . Fasakh bisa terjadi karena ada syarat-syarat yang tidak
terpenuhi pada akad nikah atau karena hal lain hal ini terjadi
berdasarkan keputusan hakim atas permintaan wali.
b. Khulu’.
Artinya perceraian atas inisiatif (permintaan) istri. Dimana istri
mengembalikan mahar yang pernah diberikan oleh suami. Khulu’ disebut
juga dengan talak tebus.
G. Iddah
Iddah yaitu masa
menunggu yang diwajibkan atas istri yang ditalak baik cerai hidup maupun
cerai mati. Gunanya supaya diketahui apa istri sedang hamil atau tidak.
Dan juga memberi kesempatan kepada mantan suami untuk menggunakan hak
rujuknya terhadap istri yang tertolak satu dan dua. Masa iddah bagi
wanita yang dicerai ada lima macam yaitu :
1. Wanita yang tertalak
satu atau dua dan masih berhaidh, iddahnya tiga kali suci. Firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
Artinya :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (suci).( Q.S. al-Baqarah ayat 228)
2. Wanita yang tertalak dan tidak haid lagi (telah manopause), masa
iddahnya adalah tiga bulan. Firman Allah dalam surat at-ëalaq ayat 4:
Artinya :
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (manopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka
iddah mereka adalah tiga bulan.( Q.S. at-thalaq ayat 4)
3.
Wanita yang tertalak dalam keadaan hamil, iddahnya sampai melahirkan
anak yang dikandungnya. Firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 4:
Artinya :
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.(Q.S. at-Thalaq ayat 4)
4. Wanita yang diceraikan, namun belum digauli, tidak ada masa iddahnya.
Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49 :
Artinya :
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya. Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya.(Q.S. al-Ahzab ayat 49)
5. Wanita yang cerai mati (suaminya wafat) iddahnya 4 bulan 10 hari. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234:
Artinya :
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)
empat bulan sepuluh hari. (Q.S. al-Baqarah ayat 234)
H. Rujuk
1. Pengertian Rujuk
Rujuk ialah suami kembali kepada istrinya yang telah diceraikan, untuk
mewujudkan pernikahan semula sesuai dengan ketentuan agama.
Rujuk
artinya kembali, dan yang dimaksud disini adalah kembali kepada ikatan
pernikahan. Rujuk tidak memerlukan akad nikah baru karena akad nikahnya
belum terputus.
2. Hukum Rujuk
Sama halnya hukum nikah, hukum rujuk pada dasarnya adalah boleh (jaiz). Kemudian bisa menjadi haram, makruh, sunah dan wajib.
a. Haram, apabila diniatkan niat rujuknya hanyalah untuk menyakiti si istri , atau agar si istri lebih menderita.
b. Makruh, bila diketahui bahwa meneruskan perceraian lebih bermanfaat bagi keduanya dibandingkan jika keduanya rujuk.
c. Sunah, jika diketahui bahwa rujuk lebih baik dibandingkan dengan meneruskan perceraian.
d. Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu jika salah seorang ditolak sebelum gilirannya disempurnakannya.
3. Syarat-syarat suami merujuk istri
a. Dengan kehendak sendiri (tidak dipaksa orang lain).
b. Dengan perkataan, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran.
c. Ada dua saksi sesuai dengan firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 2
I. Hikmah Nikah
Mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam dimulai dengan
memberi pedoman pemilihan jodoh, Islam telah mengajarkan suatu
batasan-batasan sebagai norma dalam mencari calon istri dan sebaliknya
juga mencari calon suami. Sabda Nabi saw:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ
لأَِرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِنَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا
فَاظْفَر لِذَان الدِّيْنِ تَرِبَت يَدَاكَ (رَوَاهُ البُخَارِى وَمُسْلِم)
Artinya :
“Kami nikahi wanita itu dengan syarat, karena hartanya, karena
keturunannya, karena cantiknya, karena agamanya, maka pilihlah yang
terbaik karena agamanya, semoga kamu semua diselamatkan Allah
swt”.(H.R.Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan dapat
melihat kepada wanita atau laki-laki sebagai calon istri atau calon
suaminya, adalah dalam bentuk pertemuan yang ditemani oleh muhrimnya.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak memaksa seseorang dalam membina
kehidupan berkeluarga yang berpengaruh kepada keturunan dan masyarakat.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan diantaranya :
1. Kesempurnaan ibadah
2. Kelangsungan keturunan
3. Ketenangan batin
4. Meningkatkan ekonomi keluarga
5. Terpelihara dari dosa dan noda (zina)
6. Terjalin ukhuwah satu keluarga, suami istri yang mana pertalian itu
akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolong-tolongan.
J. Sekilas Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
UU no.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terdiri dari 14 bab dan terbagi dalam 67 pasal.
1. Pengertian dan tujuan perkawinan
Dalam bab I pasal I UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa “Perkawinan
ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Sahnya perkawinan dan kewajiban pencatatan perkawinan
Bab 1 pasal 2 ayat 1 : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Bab 1 pasal 2 ayat 2 : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ada dua instansi yang
bertugas mencatatnya, yaitu KUA bagi yang beragama Islam dan Kantor
Catatan Sipil bagi non muslim
3. Peranan peradilan Agama dalam penetapan talak menurut UU No. 1 tahun 1974 dan UU no. 7 tahun 1989.
a. Menurut UU No. 1 tahun 1974 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Menurut UU
No. 7 tahun 1989 menyatakan bahwa seorang suami yang beragama Islam yang
akan menceraikan istrinya harus mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk mengadakan sidang. Pihak pengadilan mempelajari isi surat
tersebut dalam waktu selambatnya 30 hari, kemudian memanggil yang
bersangkutan untuk diminta penjelasannya.
Pengadilan memutuskan
untuk mengadakan sidang dan menyetujui perceraian apabila terdapat
alasan-alasan yang kuat dari kedua belah pihak.
K. Tentang Poligami
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat 1, 2 : Menyatakan bahwa pada
dasarnya dalam satu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang (poligami)
wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan dengan persyaratan:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri .
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat memberi keturunan.
Persyaratan lain adalah :
a. Adanya persetujuan dari istri baik lisan maupun tulisan.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup semua keluarga.
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil kepada semua istri dan anak-anaknya.
No comments:
Post a Comment