Tuesday, January 7, 2014

Revitalisasi Aqidah Dalam Kehidupan Islam Modern

Menurut Hasan Al-Banna, aqidah (bentuk jama’nya ‘aqaid) adalah perkara-perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.
Menurut Al-Jazairi,aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fithrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini keshahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir semakna dengan istilah aqidah, yaitu

iman dan tauhid; dan yang semakna dengan ilmu aqidah adalah ushuluddin, ilmu kalam dan fikih akbar.
1. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN AQIDAH
Meminjam sistematika Hasan Al-Banna, maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1. Ilahiyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat Allah, af’al Allah, dan lain-lain.
2. Nubuwwat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mukjizat, karamat, dan lain-lainnya.
3. Ruhaniyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan, ruh, dan lain-lain.
4. Sam’iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli berupa Al-qur’an dan hadis) seperti alam barzah, akhirat, adzab kubur, tanda-tanda kiyamat, surga dan neraka, dan lain-lain.
Disamping sistematika di atas,pembahasan aqidah juga bisa mengikuti arkanul iman (rukun iman), yaitu:
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada malaikat, termasuk pembahasan tentang makhluk ruhani lainnya seperti jin, iblis, dan setan.
3. Iman kepada kitab Allah
4. Iman kepada nabi dan rasul
5. Iman kepada hari akhir
6. Iman kepada taqdir Allah
2. SUMBER AQIDAH ISLAM
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan hadis. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan). Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash (teks) yang terdapat dalam kedua sumber tersebut, dan mencoba memahami dan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu menjangkau masalah ghaib, bahkan akal tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Misalnya akal tidak mampu menjawab pertanyaan ‘kekal itu sampai kapan?’. Atau akal tidak mampu menunjukkan tempat yang tidak ada di darat, di udara, di lautan, dan tidak ada di mana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat dengan ruang dan waktu. Oleh sebab itu, akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa berita tentang hal-hal ghaib itu dibuktikan secara ilmiah oleh akal pikiran.
3. FUNGSI AQIDAH
Aqidah adalah dasar dan fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah, bangunan itu akan cepat roboh. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.
Kalau ajaran Islam dibagi dalam sistematika aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah; atau aqidah, syari’ah, dan akhlak; atau iman, Islam, dan ihsan, maka ketiga aspek atau keempat aspek di atas tidak dapat dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia, dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak-balik dan bersilang.
4. PEMAHAMAN TAQDIR
Kata taqdir berasal dari kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran. Jika dikatakan “Allah telah menaqdirkan “ maka berarti “Allah telah memberi ukuran / kadar / batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.
Dari sekian banyak ayat Al-Qur’an dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan taqdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan
Allah menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju. QS. al-A’la, 87:1-3 menegaskan “Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi, yang menciptakan (semua makhluk) dan meyempurnakannya, yang memberi taqdir kemudian mengarahkannya.
Karena itu ditegaskannya bahwa “Dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikian itulah taqdir yang ditentukan oleh Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS. Yasin, 36:38)
Demikian pula bulan “Dan telah Kami taqdirkan/tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua” (Yasin, 36:39)
Bahkan segala sesuatu ada taqdir atau ketetapan Tuhan atasnya “ Dia Allah yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan sempurna” (al-Furqan, 25:2)
Di ayat lain ditegaskan “Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu“ (al-Hijr, 15:21)
Walhasil, taqdir Allah menjangkau seluruh makhluk-Nya “Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya” (QS.al-Thalaq, 65:3)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu,dan itulah yang disebut taqdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa taqdir, termasuk manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara Ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah. Ulama lain mengatakan bahwa sunnatullah yang digunakan oleh Al-Qur’an adalah hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang taqdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Di sisi lain, manusia berada di bawah hukum-hukum Allah, sehingga segala yang dilakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hanya saja, hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan ia diberi kemampuan memilih taqdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam.
Ketika di daerah Syam terjadi wabah, Umar Ibn al-Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencananya, dan ketika itu tampil seseorang bertanya, “apakah Anda lari/ menghindar dari taqdir Tuhan?” Umar menjawab “ Saya lari/ menghindar dari taqdir Tuhan kepada taqdir-Nya yang lain”.
Jika diperhatikan ayat-ayat yang mengandung perkataan “taqdir” diketahui bahwa istilah itu digunakan dalam maknanya sebagai sistem hukum ketetapan Tuhan untuk alam raya/ hukum alam. Dan sebagai hukum alam, maka tidak satupun gejala alam yang terlepas dari Dia, termasuk amal perbuatan manusia.
5. KEESAAN ALLAH
Keesaan Allah mencakup empat macam keesaan, yaitu:
1. Keesaan Zat
2. Keesaan Sifat
3. Keesaan Perbuatan
4. Keesaan dalamberibadah kepada-Nya
1. Keesaan Zat-Nya
Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah SWT tidak terdiri dari unsur-unsur , atau bagian-bagian, karena bila Zat Yang Maha Kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih- betapapun kecilnya unsur atau bagian itu-maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya.
2. Keesaan Sifat-Nya
Adapun keesaan Sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah Esa dalam sifat-Nya.
3. Keesaan Perbuatan-Nya
Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini,baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujud-Nya, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata, apa yang dikehendaki-Nya terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak akan ada daya (untuk memperoleh manfaat),tidak pula kekuatan (untuk menolak madharat), kecuali bersumber dari Allah SWT, itulah makna:
“laa haula wa laa quwwata illa billah”
Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah SWT berlaku sewenang-wenang, atau ”bekerja” tanpa system yang ditetapkan-Nya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya.
4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya
Kalau ketiga keesaan diatas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu.
Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh Allah atau melalui Rasul-Nya, dan yang secara popular dikenal dengan istilah ibadah mahdhah , sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan demi karena Allah.
Nah, mengesakan Tuhan dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksakan segala sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupun selainnya. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah kepada-Nya adalah dengan melaksanakan apa yang tergambar dalam firman-Nya:
Katakanlah ,”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, (semuanya) demi karena Allah, Pemelihara seluruh alam”. (QS Al-An’am [6]:162).


No comments:

Post a Comment